Jangan salahkan sebuah pertemuan

PERTEMUAN

Siapa bilang pertemuan itu membunuh rindu? Ia hanya melipatgandakannya lalu diam-diam menikamku dari belakang. Aku terhunus dalam bahagia. Lalu menahan tangis setelah pertemuan kembali membuat kecewa.

Aku ingin waktu itu satu menit berjalan lebih dari 60 detik. Tapi aku hanya mampu pura-pura tersenyum. Punggungnya menyapaku untuk terakhir kali sebelum tubuhnya tak menyisakan bayangan.
Aku seperti bermimpi. Tapi itu nyata.

Apakah bahagia tak juga diizinkan? Aku hanya bahagia karena mimpi itu menjadi kenyataan dalam sekejap.
Aku hanya teringat hari hari sebelum hari itu, pertemuan macam itu harus terbayar dengan sebuah kekecewaan ketika aku terbangun.
Ternyata hanya mimpi.

Aku tak peduli lagi apa kata mereka tentang pertemuan.
Aku hanya tahu, pertemuan itu membahagiakanku walaupun di saat bersamaan menikamku.

Walaupun harus dibayar dengan rasa sesak, walaupun harus membunuh harapan yang diam-diam tumbuh, pertemuan tetap saja jawabanku atas berbagai harapan.

Ataukah aku harus memeras lagi air mataku oleh lipatan rindu, pertemuan tetap saja pengukir senyum yang terlalu lama kunanti.

Ketahuilah, barangkali pertemuan adalah hadiah atas kesabaran menata rindu.
Seperti hadiah Tuhan pada Ibrahim atas keikhlasannya melepas Ismail untuk-Nya. Barangkali begitulah hadiah sebuah keikhlasan.

Maka berhentilah berharap apa-apa pada pertemuan singkat itu. Karena bisa jadi, pertemuan sebenarnya adalah ujian terindah dari Tuhan.

Bahkan bisa jadi, kado terindah dari sebuah pertemuan adalah sebuah perpisahan.

Wahai wanita. Jika sabarmu berbatas, semoga ikhlasmu tidak.

Terkadang kita hanya ingin pergi,  bukan untuk pergi dari masalah, tapi untuk menyisakan lagi ruang hati agar tak terlalu sesak.
Agar ia kuat lagi menghadapi tumpukan rasa yang siap datang.
Entah rasa apa saja.

Bukankah luka di hati adalah tanda bahwa kita sedang belajar?
Kita belajar bagaimana mengobatinya. Kita belajar membujuknya untuk tak lagi sakit walau masalah menumpuki ruang-ruangnya.
Kita belajar untuk bernegosiasi dengan apa-apa yang siap menyakitinya.

Bahwa bagaimanapun keadaan membuat hati terhimpit, kita masih bisa mengajak hati untuk menjadi lega, sebab kita tahu bagaimana cara keluar dari himpitan itu.

Maka, wahai hati.
Jika sabarmu telah berbatas saat ini. Kuharap ikhlasmu itu tak berbatas sampai kapanpun jua.
Ikhlas dalam melepasnya misal.
Ikhlas melihatnya bahagia dengan hawa lain misal.

Ah hati.
Semoga kau tetap kuat.

Dihadapkan pada dua pilihan

Kita selalu dihadapkan pada dua pilihan ketika kita mengalami luka: membenci dia yang mencipta luka itu atau memaafkan semuanyam.
Yang kedua, memang sulit sekali dilakukan. Sulit sekali. Tidak jarang  ada yang melalui proses membenci dulu, menahan semua perihnya, mencoba lupa tapi terus terbayang, bahkan pergi.
Tapi bagaimana jika ia yang mencipta luka begitu dekat dengan kita? Maka, sungguh, menghindar sama sekali tak menyembuhkan luka. Walau pun menghindar kadang juga pilihan yang mau tidak mau harus dipilih.
Tapi menghindar ataupun tetap tinggal, kita tetap saja harus memaafkan. Karena nyatanya, untuk sembuh dari luka itu, mau tidak mau kita memang harus memaafkan semuanya. Di situlah ketenangan akan hadir.
Bisa jadi, ya bisa saja, luka itu ada karena kita membiarkan hati kita luka. Karena kita tidak kuat membentengi hati kita dari luka. Karena hati kita sedang begitu lemah imannya. Karena ada harapan dan niat yang tidak tulus bersandar karena Allah.

Rabb..
Lapangkanlah hati hamba

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogger templates

Blogroll